
Assalamualaikum ....
Selamat pagi.
Selamat datang di blog saya. Silakan menikmati tulisan ringan saya untuk menemani rehat teman-teman. 😊
Selamat pagi.
Selamat datang di blog saya. Silakan menikmati tulisan ringan saya untuk menemani rehat teman-teman. 😊
Kita semua pasti sudah tidak asing lagi, donk, dengan yang namanya tahlilan ...? Yupz, acara zikir dan doa di rumah duka yang biasanya disertai dengan acara makan-makan. Tahlilan sendiri memiliki arti pembacaan ayat-ayat suci Alquran untuk memohonkan rahmat dan ampunan bagi arwah orang yang meninggal. (Sumber : KBBI)
Terlepas dari apakah acara tahlilan itu bid'ah atau tidak, saya tidak ingin membahasnya di sini.
Kali ini, saya hanya ingin menyoroti satu fenomena yang terjadi di sebuah dusun yang tidak perlu saya sebutkan namanya. Dusun tersebut terletak di sebuah desa di ujung timur Provinsi Jawa Tengah. Fenomena yang membuat saya, bahkan beberapa teman yang pernah membaca cerbung saya di salah satu grup menulis terbesar di facebook berjudul Suami Zolim, merasa miris dan menyayangkan tradisi yang sudah mendarah daging di sana.
Di kampung tersebut terdapat tradisi tahlilan 6 malam berturut-turut dengan menu makanan yang berbeda setiap malamnya. Lalu di hari ke 40, 100, setahun, 1.000 hari, dan diulang setiap tahunnya. Kenapa hanya 6 malam? Karena di hari pertama warga meninggal, malamnya sudah dihitung sebagai malam kedua.
Proses pengurusan jenazah hingga tahlilan enam malam berturut-turut itu merogoh kocek paling sedikit sepuluh juta rupiah. Tak ayal, sebagian besar warga di sana terpaksa menjual ternak sapi hingga kebun/sawah mereka. Bahkan rela berhutang sana sini demi tradisi yang sudah dianggap sebagai kewajiban tersebut.
Kenapa bisa sampai merogoh kantong puluhan juta untuk biaya duka salah satu anggota keluarga?
Pertanyaan seperti itu pasti melintas di benak teman-teman. Nah, di sini saya akan menjabarkannya mengapa bisa seperti itu.
1. Setiap pelayat yang datang ke rumah duka akan diberikan amplop berisi uang. Pelayat yang datang biasanya lebih dari 200 orang pria dan wanita. Satu buah amplop berisi minimal 5 ribu rupiah, tergantung kondisi ekonomi keluarga duka. Ada juga yang berisi 10 ribu, tetapi sangat jarang.
Noted : Pelayat wanita datang membawa mangkuk berisi beras. 👍
2. Warga yang berada di pemakaman untuk membantu proses pembuatan makam (meskipun sudah ada petugas yang dibayar untuk mengurusnya), akan diantarkan makanan berupa nasi dan lauk pauknya plus amplop berisi uang yang sama dengan pelayat sebelum jenazah tiba di sana.
3. Acara tahlilan yang disertai dengan makan-makan selama 6 malam berturut-turut. Warga yang diundang untuk mengikuti acara tersebut hingga 6 malam biasanya sekitar 70 orang pria. Lalu, apa saja yang disajikan di rumah duka untuk para tamu undangan tahlilan? Berikut saya jabarkan makanan yang disajikan hampir sama di setiap rumah duka :
1) Hari pertama warga meninggal, malamnya disebut dengan malam kedua. Di malam itu, biasanya disajikan makan malam berupa nasi dengan lauk gulai kambing, atau yang biasa disebut dengan becek oleh warga di sana. Di makan oleh seluruh tamu setelah doa selesai.
2) Malam ketiga biasanya dihidangkan nasi pecel lele atau pecel ayam. Waktu makan sama dengan malam kedua.
3) Malam keempat biasanya dihidangkan sate kambing/sapi/ayam. Jenis daging yang dijadikan sate tergantung kepada kemampuan ekonomi keluarga duka.
4) Malam kelima biasanya disajikan lontong ayam atau telur. Tergantung kemampuan ekonomi keluarga duka. Di malam kelima ini tak hanya dihidangkan makan malam bagi para tamu, tetapi juga bekal yang dibawa pulang berupa bingkisan nasi dengan lauk ayam dan sayur-sayurnya. Bagi yang kemampuan ekonominya lemah, biasanya hanya berupa bingkisan berisi beras, mie instan, dan telur. Tak hanya makan malam dan bingkisan saja yang disediakan, tetapi juga amplop berisi uang 20-30 ribu untuk setiap tamu yang diundang tersebut.


5) Malam keenam biasanya dihidangkan nasi dengan soto ayam.
6) Malam keenam biasanya dihidangkan nasi uduk dengan ayam bakar. Di malam keenam atau malam terakhir sebelum nantinya akan ada malam ke 40, para tamu dibawakan bekal berupa bingkisan nasi berisi lauk pauknya.


Amplop-amplop berisi uang mulai dari melayat hingga malam ketujuh beserta makan-makannya itulah yang membuat kematian warga di sana selalu menghabiskan banyak uang bagi keluarganya. Ternak maupun sawah mereka harus rela terjual, bahkan sampai berhutang kepada orang lain.
Pernah suatu ketika saya di sana, salah seorang warga miskin (tidak memiliki ternak maupun kebun atau sawah) yang bekerja di kebun salah satu warga, kehilangan adiknya yang mengidap suatu penyakit. Saat itu mereka mengajukan pinjaman sepuluh juta kepada seorang dukun bayi yang memiliki banyak ternak sapi juga kebun. Kebetulan saya saat itu ada di sana dan mendengar cerita tersebut. Namun, dukun bayi tersebut tidak memberikannya. Jelas saja, dengan apa nantinya keluarga duka akan membayar?
Pada akhirnya, para pelayat tak satu pun yang diberikan amplop. Lalu, apa yang terjadi? Biasanya ketika membawa jenazah ke pemakaman yang berjarak 1 km, para warga ramai bergantian mengangkat keranda. Namun, pada keluarga miskin itu, hanya 8 orang saja yang bergantian mengangkat keranda hingga sampai ke pemakaman. Sedangkan yang lainnya, hanya berjalan santai di belakang mereka.
Tak hanya itu, keesokan harinya, kondisi yang menimpa keluarga miskin tersebut juga menjadi bahan gunjingan warga di desa. Mereka digunjing karena tak ada amplop untuk para pelayat. Padahal mereka sendiri beralasan itu untuk sedekah dari mayit. Apakah sedekah harus dipaksa hingga menjual aset dan berhutang?
Sungguh miris tradisi yang sudah mendarah daging di desa tersebut. Dan hingga hari ini, tradisi itu masih berjalan.
Apakah di tempat tinggal teman-teman ada yang sama? Atau malah mendapat bantuan dari warga sekitar? Semoga malah mendapat bantuan, ya. 😊
Sumber tulisan: saya sendiri saat tinggal di sana dan seseorang yang asli orang sana.
Sumber gambar : google.
Tulisan ini sudah pernah saya terbitkan di kaskus dengan akun Sangteratai dengan judul yang sama.
wah kl sampai menjual2 sapi dan sawah kesannya gimana ya mbak, hhh
ReplyDeletekl di tempatku masih ada tradisi tahlilan begini, tp alhmdulillah aman2 dan tentrem saja. sepengetahuanku meski orang yg nggak punya, tetangga gotong royong dengan niat membantu, nggak ada sedikitpun rasa terbebani, setahuku gitu. Pun kl di keluargaku sendiri, ada tabungan keluarga, jadi tiap anak dan cucu (yg sudah bekerja) tiap bulan pd nabung buat keperluan mbah atau anggo keluarga yg butuh dana darurat kaya semacam kejadian di atas :)
Di kampung halaman suami juga masih ada tradisi tahlilan. Tapi Alhamdulillah masih tenteram.
ReplyDeleteUntuk yang terjadi di atas, memang disayangkan ya, Mbak. Jadi terkesan warga akan membantu dan melayat karena imbalan yang nanti mereka terima, bukan lagi karena ikhlas membantu tetangga yang sedah tertimpa musibh
Duh, kasihan ya Mbak? pelik banget...kalau di daerah saya tetap ada namun nggak ada bawa2 uang. Pastinya ibu2 bawa beras saat wafat hari itu, hari ketiga dan ketujuh, 100 hari 1000 dan nahun 2 kali. Udah itu saja, dan pihak yg tahlilan hanya memberi makan dan berkat saja sesuai dengan kemampuannya.
ReplyDeleteSebetulnya ya nggak perlu dipaksakan juga kalau nggak mampu. Kasihan keluarganya. Sudah susah karena ditinggal, masih juga repot begini begitu. Mirisnya, karena repot begini, jadi lupa kalau yang lebih wajib mendoakan si mayit ini ya keluarganya sendiri. Bukan orang lain.
ReplyDeletedi sini sih masih ada ya tradisi begitu, tapi ya nggak sampai jual harta benda juga. semampunya aja.
ReplyDeleteDi daerah asal saya hal seperti ini masih lumrah dilakukan. Keluarga saya pun pernah melakukannya saat Papa, Mbah meninggal. Tapi ya gak seheboh itu sih, cenderung sederhana saja. Nah. kalau di lingkungan saya memang banyak yang serba wah, sampai ngutang2. Jujur saya juga nggak setuju dan lebih memilih disedekahkan saja dana yang kita punya untuk tahlilan. Nenurut saya lebih meringankan.
ReplyDeleteWah kalau begitu caranya bisa-bisa banyak warga disitu yang pindah domisili ya mba. Entahlah sya terus terang tidak setuju jika utk tahlilan merogoh kocek sampai puluhan juta. Bagi saya monggo kirim doa kepada almarhum tapi jangan memberatkan yang masih hidup.
ReplyDeleteYa Allah, miris banget ya, udah mah sedih karena kehilangan keluarga ditambah harus menyediakan makanan, uang dalam jumlah yang besar. Padahal agama kita menyarankan justru kitalah yang harus datang meringankan beban mereka yang baru ditinggalkan, dengan takziah memberikan makanan misalnya, bukan sebaliknya. Udah gitu harus diulang dalam periode tertentu pula, jadi sangat memberatkan sekali ya Mbak apalagi harus berhutang segala macem.
ReplyDeleteKita bicara masalah tradisi turun temurun, Mbak. Meski paham sebaiknya enggak begitu, ternyata yang paham dan mau mengubah tradisi enggak banyak juga. Harusnya yang duka enggak dibuat sampai berutang banyak, ya, buat sebuah tradisi. Yang penting doanya aja buat alm.
ReplyDeletedi daerah rumah orangtuaku dulu juga masih ada kebiasaan ini mbak, namun seiring berubahnya jaman, sekarang sudah mulai tidak ada. ya walaupun ada yang berkunjung ya sekadar menemani keluarga yang berduka untuk ngobrol saja biar gak terlalu bersedih karena kehilangan. kalo di kampung-kampung yang lebih dalam masih ada tradisi ini mbak.
ReplyDeletewaduuuhhh, baru tahu ada tradisi yang kayak gini.
ReplyDeletegagal paham deh saya, kenapa bisa seperti ini? harusnya orang yang berduka itu yg dihibur, diberi keringanan bukan malah memberi seperti ini, haduuhh, parah banget yak, hikss.
Seharusnya yang sudah ditimpa kemalangan, jangan lagi dibebankan ya. Semoga ada perubahan di sana, sehingga jadi saling memudahkan dan membantu terhadap sesama
ReplyDeletekadang "kebiasaan" dari masyarakat kita yang ada sejak zaman dulu itu yang susah hilang. tanpa pandang bulu mereka seakan dipaksa melaksanakan. walau tidak ada sanksi, tapi akibatnya "jadi buah bibir". miris sekali
ReplyDeleteJadi inget waktu eyang kakung meninggal, tahlilan ngga berhenti2 rasanya, dapur eyang putri selalu ngebul setiap saat :(
ReplyDelete